Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Visi Indonesia Emas Namun Uang Kuliah Semakin Tak Terjangkau

    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Visi Indonesia Emas Namun Uang Kuliah Semakin Tak Terjangkau

    PENDIDIKAN - Indonesia, sebuah negeri yang menjanjikan harapan bak pelangi di cakrawala, kerap membisikkan mimpi indah tentang kejayaan di masa depan. Dalam pidato-pidato megah dan konferensi penuh semangat, kita mendengar tentang Visi Indonesia Emas 2045—sebuah narasi tentang Indonesia sebagai pusat peradaban global, berdiri gagah dengan ekonomi kuat, pendidikan unggul, dan masyarakat yang sejahtera. Namun di tengah gema janji ini, terselip realitas yang tak seindah dongeng: pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi mercusuar harapan, kian hari kian sulit dijangkau oleh rakyatnya sendiri.

    Mari kita masuk ke dalam ironi ini. Saat poster-poster di sudut kota menggambarkan anak-anak muda dengan toga, menatap masa depan dengan penuh keyakinan, faktanya uang kuliah semakin membuat mereka gentar. Seolah-olah, tangga menuju "Indonesia Emas" ini memiliki pintu masuk yang terkunci rapat oleh biaya. Banyak keluarga kini bertanya: Apakah pendidikan tinggi adalah hak atau hanya mimpi?

    Lihatlah universitas-universitas negeri, tempat harapan rakyat dititipkan. Meski dijuluki "negeri, " biaya kuliah di banyak kampus semakin menyerupai tarif universitas swasta. Dalam kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang katanya dirancang untuk keadilan, justru banyak mahasiswa dari kelas menengah bawah yang terperangkap dalam kelompok biaya yang terlalu tinggi. Seakan-akan, keberanian mereka untuk bermimpi dihargai dengan beban yang membuat lutut mereka gemetar.

    Sebagian mungkin berkata, "Tapi itu untuk kualitas pendidikan!" Ya, betul. Namun coba kita renungkan: apakah biaya yang terus melonjak ini benar-benar sejalan dengan peningkatan mutu? Atau hanya untuk menopang "kemewahan" birokrasi kampus? Bukankah ironi ini seperti membangun rumah megah dengan pintu gerbang yang terlalu mahal untuk dilewati penghuninya sendiri?

    Di sisi lain, marilah kita ingat mereka yang mengorbankan segalanya demi pendidikan. Para orang tua yang menjual tanah, meminjam uang dengan bunga tinggi, atau bahkan menggadaikan masa depan mereka demi anak-anak yang kelak menjadi sarjana. Tetapi, apakah pengorbanan ini selalu setimpal? Nyatanya, lulusan perguruan tinggi sering kali menemukan diri mereka terjebak dalam jurang ketidakpastian: pekerjaan yang sulit dicari, gaji yang rendah, dan hutang yang membayangi.

    Jika visi Indonesia Emas adalah tentang membangun sumber daya manusia unggul, mengapa kita menciptakan tembok finansial yang begitu tinggi? Bukankah pendidikan seharusnya menjadi investasi bersama, bukan beban yang ditanggung segelintir individu? Barangkali, ini saatnya kita bertanya kepada diri sendiri: Apakah narasi utopia yang kita bangun hanya akan menjadi bayang-bayang kosong di bawah sinar matahari ambisi?

    Namun, jangan salah paham. Harapan belum sepenuhnya sirna. Ada solusi—jika kita berani mengambil langkah besar. Pemerintah, misalnya, dapat mengalokasikan anggaran lebih besar untuk subsidi pendidikan. Universitas juga dapat lebih transparan soal alokasi biaya, memastikan setiap rupiah yang mereka pungut benar-benar kembali dalam bentuk kualitas pembelajaran. Dan tentu saja, masyarakat harus bersatu untuk menuntut akses pendidikan yang lebih terjangkau bagi semua.

    Visi Indonesia Emas bukan sekadar mimpi di atas kertas. Itu adalah panggilan untuk membuktikan bahwa bangsa ini mampu memberikan peluang yang setara. Sebuah utopia sejati adalah ketika anak dari petani, pedagang kecil, dan pekerja keras lainnya memiliki peluang yang sama untuk menciptakan masa depan yang cemerlang. Sebab, pada akhirnya, apa gunanya "emas" jika tidak semua anak negeri dapat mencapainya?

    Jakarta, 02 Desember 2024
    Hendri Kampai
    Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

    utopia indonesia indonesia emas hendri kampai
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Visi Indonesia Emas Namun Uang Kuliah Semakin Tak Terjangkau
    Diskusi Panel di Rapimnas Kupas Potensi Sabut Kelapa untuk Solusi Longsor dan Pemberdayaan Ekonomi  
    Susi Andrianis, Pemilik Putratama Group, Dilantik sebagai Wakil Ketua KADIN, Siap Pimpin Transformasi Pertanian Indonesia
    Jurika Fratiwi Dikukuhkan sebagai Ketua Komisi Advokasi Perlindungan Hak Anak dan Perempuan KADIN Indonesia, Luncurkan Program Unggulan

    Ikuti Kami