JAKARTA - Harus jelas dulu siapa yang disebut Oligarki itu. Mereka adalah kelompok kecil yang mempengaruhi, bahkan menentukan kebijakan negara. Oligarki terdiri dari dua kelompok yaitu elit penguasa dan pengusaha papan atas. Saat ini militer tidak terlibat, bahkan cenderung terpinggirkan.
Penguasa dan pengusaha ingin mengamankan kepentingannya kedepan. Secara hukum aman, kepentingan politik berkelanjutan, dan nasib bisnis para pengusaha terjaga, bahkan berkembang.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
Untuk tujuan ini, Oligarki perlu sosok pemimpin untuk mengamankan semua kepentingannya itu. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, nampaknya jadi pilihan. Kenapa Ganjar? Ini sosok yang oleh mereka dianggap sangat loyal. Oligarki butuh orang yang loyal dan bisa berkompromi dengan semua kepentingannya.
Sayangnya, potensi elektabilitas Ganjar tidak seperti Jokowi yang saat itu adalah rising star. Jokowi antitesa para penguasa sebelumnya yang terkesan elitis dan tak terjangkau oleh rakyat. Kehadiran Jokowi dianggap mampu memenuhi kerinduan rakyat terhadap pemimpin dari kalangan bawah.
Elektabilitas Jokowi saat itu, secara alami melejit dan tak terbendung. Megawati, ketua umum PDIP yang semula berencana nyapres pun mundur dan tiket diberikan kepada Jokowi. Drama dan tekanan kabarnya mewarnai pencalonan Jokowi tahun 2014.
Jokowi beda dengan Ganjar. Elektabilitas Ganjar baru naik di pertengahan 2020 setelah tim media kerja keras. Terus naik seiring dengan kerja tim dengan logistik yang memadai. Bahkan elektabilitasnya sempat melampaui Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Namun, kenaikan elektabilitas Ganjar tidak alami sebagaimana Jokowi. Elektabilitas Ganjar besar di Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur. Sementara di luar dua wilayah ini, elektabilitas Ganjar tidak berkembang dan sepertinya terkunci.
Ganjar punya tiga kelemahan. Pertama, tidak cukup kontens berupa prestasi. Hasil kerja Ganjar tak begitu tampak dan sepi penghargaan. Kampanye Ganjar lebih dominan berupa gimmick. Dalam pertarungan jangka panjang, mengandalkan gimmick itu lemah. Rakyat juga akan bosen dan jenuh jika terus menerus disuguhi gimmick.
Kedua, tidak ada peristiwa besar yang mengangkat nama Ganjar. Beda dengan Jokowi yang memiliki gagasan mobil Esemka, dan menyelamatkan pasar klewer dari rencana penggusuran untuk dijadikan mall. Dua hal ini mendongkrak nama Jokowi ke pentas politik nasional. Karena dua peristiwa besar inilah Jokowi mulus ke Balaikota Jakarta dan kemudian ke istana negara. Dan Ganjar tidak memiliki ini.
Peristiwa yang muncul dan populer justru "penggusuran di Wadas". Ini menjadi faktor ketiga yang sama sekali tidak menguntungkan bagi Ganjar.
Saat ini, elektabilitas Ganjar stagnan, malah cenderung turun. Salah satu faktor turunnya elektabilitas Ganjar karena kasus Wadas di Purworejo tersebut.
Selain Wadas, isu E-KTP juga bisa menjadi faktor penghambat elektabilitas Ganjar. Lepas Ganjar secara hukum terlibat atau tidak, kasus ini diangkat lagi atau tidak oleh KPK, tapi publik terlanjur membaca adanya nama Ganjar di kasus tersebut.
Kasus E-KTP telah menjadi peristiwa politik. Politik dibentuk oleh persepsi publik. Ini yang menyebabkan elektabilitas Ganjar potensial terhambat dan stag.
Di sisi lain, PDIP sudah punya kader yang akan dimajukan yaitu Puan Maharani. Puan telah melalui penggemblengan dan menempuh proses kaderisasi cukup panjang di PDIP. Dimulai sebagai anggota DPR biasa, lalu ketua fraksi, kemudian jadi menteri, dan sekarang menjadi ketua DPR RI. Puan memiliki track record yang secara jenjang perkaderan memadai untuk mempersiapkan diri jadi capres atau cawapres.
Gambaran di atas membuat Oligarki harus berpikir ulang untuk menyapreskan Ganjar Pranowo. Satu sisi, Ganjar tidak diragukan loyalitasnya. Di sisi lain, memaksakan Ganjar nyalon juga berisiko jika tidak dapat tiket, atau nyapres tapi kalah. Presiden yang menjadi pemenang dalam pemilu nanti pasti punya catatan tersendiri terhadap sepak terjang Oligarki. Alih-alih mempertahankan kepentingan politik dan bisnis mereka, yang terjadi bisa sebaliknya.
Di sisi lain, ada Anies Baswedan. Anies sepertinya telah mempersiapkan diri sejak dini, jauh sebelum ia dikenal publik. Anies telah mempersiapkan diri dengan memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin. Anies menjaga integritasnya, mengasah kemampuannya dalam memimpin, menciptakan track record yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin, dan menempa dirinya dalam mental dan komunikasi ala seorang pemimpin. Ketika kesempatan nyapres datang, Anies terlihat begitu siap.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Saat ini, Anies rising star. Ekspektasi dan antusiasme rakyat terhadap Anies sedemikian terasa. Lahirnya beragam relawan yang menginginkan Anies Presiden seperti jamur di musim hujan. Terjadi begitu saja tanpa rekayasa. Tentu ini berbeda dengan Ganjar yang lebih mengandalkan kekuatan logistik.
Anies saat ini adalah tokoh fenomenal. Bagi Oligarki, Anies potensial untuk menang dan menjadi Presiden. Semua bisa dibaca dalam detil survei dengan semua variabelnya. Hanya saja, Anies bukan orang yang mudah diatur dan dijinakkan. Punya pendirian dan prinsip yang kuat. Tidak bisa dinegosiasi jika itu menyangkut pelanggaran terhadap aturan. Tidak bisa berkompromi jika itu merugikan kepantingan rakyat dan bangsa. Pembatalan 13 pulau reklamasi adalah bukti nyata dan terang benderang bahwa Anies tidak bisa berkompromi pada pelanggaran dan proyek yang merugikan rakyat dan bangsa. Bagi Oligarki, di sini ada dilema.
Pada akhirnya, Oligarki akan dipaksa untuk bersikap realistis. Mereka akan merapat dan memberi dukungan kepada calon yang potensial menang. Siapapun calon itu. Bagi Oligarki, kepentingan mereka adalah aman secara hukum, politik dan ekonomi.
Namun, jika mereka salah atau terlambat mengambil langkah, maka ini akan menjadi bumerang bagi masa depan mereka, baik masa depan politik maupun masa depan ekonomi.
Jakarta, , 23 April 2022
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Warga NU
|
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa